Kenapa harus ada? pikir Harry, tapi dia tak mengatakannya, karena sudah jelas bahwa sang Kepala Sekolah berpikir kalau alam semesta adalah suatu cerita dan memiliki suatu plot, dan tragedi besar tidak diizinkan terjadi kecuali untuk alasan yang sama besar, signifikan. “Aku minta maaf, Kepala Sekolah. Sang Pangeran Kegelapan sepertinya tak banyak terlihat seperti cerminan kegelapan untukku, tidak sama sekali. Tak ada apa pun yang kutemukan bahkan sedikit pun menggoda tentang memaku kulit-kulit dari keluarga Yermy Wibble ke dinding ruang berita.”
“Tak punyakah kamu kebijakan untuk dibagikan?” kata Dumbledore. Ada permohonan di dalam suara si penyihir tua, nyaris mengemis.
Kejahatan terjadi, pikir Harry, itu tak berarti apa pun atau mengajarkan kita apa pun, kecuali untuk tak jadi jahat? Si Pangeran Kegelapan mungkin hanya bedebah egois yang tak peduli siapa yang dia lukai, atau seorang idiot yang membuat kesalahan-kesalahan bodoh yang harusnya bisa dihindari yang makin bertambah besar. Tak ada takdir di belakang kemalangan-kemalangan dunia ini; jika Hitler diizinkan masuk ke dalam sekolah arsitektur seperti yang dia inginkan, seluruh sejarah Eropa akan berbeda; jika kita hidup di dalam suatu alam semesta yang mana hal-hal mengerikan hanya diizinkan terjadi untuk alasan-alasan baik, semua itu tidak akan terjadi pada awalnya.
Dan tak satu pun dari tadi, jelas, adalah apa yang sang Kepala Sekolah ingin dengar.
Si penyihir tua masih melihat ke arah Harry dari balik benda-benda remah seperti suatu kepulan asap membeku, suatu keputusasaan menyakitkan di mata kuno, menunggu itu.
Yah, terdengar bijak tidaklah sukar. Itu jauh lebih mudah daripada menjadi cerdas, sebenarnya, karena kau tak harus mengatakan apa pun yang mengejutkan atau memikirkan suatu wawasan baru. Kamu hanya membiarkan software pencari-pola milik otakmu untuk melengkapi kalimat klisenya, memakai Kebijakan Mendalam apa pun yang kamu simpan sebelumnya.
“Kepala Sekolah,” kata Harry sungguh-sungguh, “aku lebih memilih untuk tidak mendefinisikan diriku sendiri melalui musuh-musuhku.”
Entah bagaimana, bahkan di tengah-tengah segala desiran dan detakan itu ada suatu kesunyian.
Itu terucap sedikit lebih Bijak Mendalam daripada yang Harry maksudkan.
“Kamu mungkin sangat bijak, Harry тАж .” sang Kepala Sekolah berkata perlahan. “Aku berharap тАж kalau aku bisa didefinisikan oleh teman-temanku.” Penderitaan dalam suaranya bertambah dalam.
Pikiran Harry bergegas mencari hal lain yang Bijak Mendalam untuk dikatakan yang akan melembutkan kekuatan pukulan yang tak disengajaтАУ
“Atau mungkin,” kata Harry lebih lembut, “adalah lawan yang membuat seorang Gryffindor, sama seperti teman yang membuat seorang Hufflepuff, dan ambisi yang membuat seorang Slytherin. Aku jelas tahu bahwa adalah selalu, di tiap generasi, teka-teki yang membuat seorang ilmuwan.”
“Adalah takdir mengerikan yang mana kau kutuk atas Asramaku, Harry,” ucap sang Kepala Sekolah. Kesakitan masih ada di suaranya. “Untuk saat ini hingga kau berkomentar atasnya, aku jelas berpikir kalau aku sangat dibuat oleh para musuhku.”
Harry menatap tangannya sendiri, di mana mereka terbaring di pangkuannya. Mungkin dia harusnya tutupmulut saja selagi dia di depan.
“Tapi kamu sudah menjawab pertanyaanku,” kata Dumbledore lebih lembut, seolah pada dirinya sendiri. “Aku harusnya sadar kalau itu akan jadi kunci seorang Slytherin. Semua hanya demi ambisinya, semua demi ambisinya; dan itu aku tahu, walau tidak kenapa тАж .” Untuk sesaat Dumbledore menatap jauh pada ketiadaan; kemudian dia menegakkan diri, dan matanya seolah terfokus pada Harry lagi.
“Dan kamu, Harry,” kata sang Kepala Sekolah, “kamu menyebut dirimu sendiri sebagai seorang ilmuwan?” Suaranya bercampur dengan keterkejutan dan ketidaksetujuan ringan.
“Anda tidak menyukai sains?” kata Harry sedikit letih. Dia tadinya berharap kalau Dumbledore akan lebih menyukai hal-hal Muggle.
“Aku kira itu berguna bagi mereka yang tanpa tongkat sihir,” kata Dumbledore, mengerutkan dahi. “Tapi itu sepertinya adalah suatu hal yang ganjil untuk mendefinisikan dirimu sendiri. Apakah sains sama pentingnya seperti cinta? Seperti kebaikan? Seperti persahabatan? Apakah sains yang membuatmu menyukai Minerva McGonagall? Apakah sains yang membuatmu peduli atas Hermione Granger? Akankah sains yang menjadi tempatmu berpaling, ketika kamu mencoba untuk menyalakan kehangatan di dalam hati Draco Malfoy?”
Kau tahu, hal yang menyedihkan adalah, kamu mungkin berpikir kalau kamu baru saja mengucapkan suatu argumen pukulan keras yang luar biasa bijak.
Sekarang, bagaimana mengungkapkan jawabannya dalam suatu cara yang juga terdengar luar biasa bijak тАж .
“Kamu bukanlah Ravenclaw,” kata Harry dengan martabat tenang, “dan sehingga mungkin tak pernah terpikir olehmu bahwa untuk menghormati kebenaran, dan mencarinya dalam seluruh hari di hidupmu, bisa juga merupakan tindakan kasih karunia.”
Alis sang Kepala sekolah naik. Dan kemudian dia menghela napas. “Bagaimana bisa kamu menjadi sebegitu bijak, sebegitu muda тАж ?” Si penyihir tua terdengar sedih, saat dia mengatakannya. “Mungkin itu akan terbukti berharga untukmu.”
Hanya untuk mengesankan para penyihir yang terlalu terkesan dengan dirinya sendiri, pikir Harry. Dia sebenarnya sedikit kecewa dengan keluguan Dumbledore; bukannya Harry telah berbohong, tapi Dumbledore sepertinya jauh terlalu terkesan dengan kemampuan Harry untuk mengungkapkan hal-hal sehingga mereka terdengar seolah-olah dalam, bukannya menempatkan mereka ke dalam Bahasa Inggris sederhana seperti yang dilakukan Richard Feynman dengan kebijaksanaannya тАж .
“Cinta itu lebih penting daripada kebijaksanaan,” kata Harry, hanya untuk menguji batas dari toleransi Dumbledore untuk klise yang sebegitu jelas sekadar dibuat melalui penyamaan pola tanpa analisis rinci apa pun.
Sang Kepala Sekolah mengangguk dengan serius, dan berkata, “Memang.”
Harry berdiri dari kursi, dan meregangkan tangannya. Yah, aku lebih baik pergi dan mencintai sesuatu, kalau begitu, itu pasti akan membantuku mengalahkan si Pangeran Kegelapan. Dan kali berikutnya kau meminta nasihatku, aku hanya akan memberimu pelukanтАУ
“Hari ini kau sudah banyak membantuku, Harry,” kata si Kepala Sekolah. “Dan dengan demikian hanya satu hal terakhir yang aku ingin tanyakan pria muda itu.”
Bagus.
Beri tahu aku, Harry,” kata si Kepala Sekolah (dan sekarang suaranya terdengar hanya kebingungan, walau masih ada sedikit rona kesakitan di matanya), “kenapa para Penyihir Kegelapan sebegitu takut terhadap kematian?”
“Er,” kata Harry, “maaf, aku harus mendukung para Penyihir Kegelapan untuk yang itu.”
*
Whoosh, hiss, chime; glorp, pop, bubble -
“Apa?” kata Dumbledore.
“Kematian itu buruk,” kata Harry, membuang kebijaksanaan demi komunikasi yang jelas. “Sungguh buruk. Teramat sangat buruk. Menjadi takut terhadap kematian itu seperti menjadi takut terhadap monster besar dengan taring-taring beracun. Itu sebenarnya sangat masuk akal, dan tidak, pada kenyataannya, menandakan kalau kamu memiliki masalah psikologi.”
Sang Kepala Sekolah sedang menatap ke arahnya seolah dia baru saja berubah menjadi seekor kucing.
“Oke,” kata Harry, “biarkan aku menempatkannya seperti ini. Apakah kamu ingin mati? Karena kalau memang seperti itu, ada suatu hal Muggle yang disebut dengan hotline pencegahan bunuh diriтАУ”
“Ketika sudah saatnya,” kata si penyihir tua dengan perlahan. “Tidak sebelumnya. Aku tak akan pernah mencoba mempercepat hari itu, atau mencoba menolak ketika hari itu tiba.”
Harry mengerutkan dahi dengan keras. “Itu tak terdengar seperti kau memiliki suatu keinginan untuk hidup yang sangat kuat, Kepala Sekolah!”
“Harry тАж .” Suara si penyihir tua mulai terdengar sedikit tak berdaya; dan dia berjalan ke satu tempat di mana janggut peraknya, tanpa disadari, hanyut ke dalam mangkuk ikan mas kaca kristalin, dan dengan perlahan mengambil semburat kehijauan yang memanjati rambutnya. “Aku pikir aku tak membuat diriku sendiri cukup jelas. Para Penyihir Kegelapan tidak bersemangat untuk hidup. Mereka takut mati. Mereka tidak menggapai ke arah sinar matahari, tapi lari dari malam yang datang ke dalam gua buatan mereka sendiri yang tak terhingga lebih gelap, tanpa bulan atau bintang. Bukanlah kehidupan yang mereka inginkan, tapi keabadian; dan mereka sebegitu terdorong untuk menggapainya hingga mereka akan mengorbankan jiwa mereka sendiri! Apakah kamu ingin hidup selamanya, Harry?”