Harry mengangguk.
Tirainya mengambil suatu pola biru samar, dan suatu jejak-jejak remang dari butir-butir salju sekarang seolah menjadi makin terlihat di atas taplak meja. Suara Profesor Quirrell terdengar sangat tenang. “Sang Kepala Sekolah bisa sangat persuasif, Tn. Potter. Aku harap dia tidak menggoyahkanmu.”
“Heck no,” kata Harry. “Tak mengelabuiku barang sedetik.”
“Aku jelas harap tidak,” kata Profesor Quirrell, masih dalam nada yang sangat tenang itu. “Aku jelas akan kecewa menemukan kalau sang Kepala Sekolah sudah meyakinkanmu untuk membuang nyawamu pada suatu rencana bodoh dengan memberitahumu bahwa kematian adalah petualangan besar selanjutnya.”
“Aku tak berpikir kalau sang Kepala Sekolah mempercayai hal itu sendiri, sebenarnya,” kata Harry. Dia menyesap tehnya sendiri lagi. “Dia menanyaiku apa yang bisa kulakukan dengan keabadian, memberiku kata-kata yang biasanya tentang hal itu akan jadi membosankan, dan dia sepertinya tak melihat konflik apa pun antara pernyataan itu dan pernyataannya sendiri tentang memiliki suatu jiwa yang kekal. Bahkan, dia memberiku ceramah panjang ini tentang betapa buruknya untuk menginginkan suatu keabadian sebelum dia menyatakan bahwa memiliki sebuah jiwa yang abadi. Aku tak bisa benar-benar membayangkan apa yang berlangsung di dalam kepalanya, tapi aku tak berpikir kalau dia benar-benar memiliki suatu model mental atas dirinya sendiri melanjutkan selamanya di alam baka тАж .”
Temperatur ruangan terasa jatuh.
“Kau melihat,” kata suatu suara seperti es dari ujung lain meja, “bahwa Dumbledore memang tidak mempercayai saat dia berbicara. Itu bukannya dia mengkompromikan prinsip-prinsipnya. Itu adalah bahwa dia tak pernah memilikinya pada awalnya. Apakah kamu mulai menjadi sinis, Tn. Potter?”
Harry menjatuhkan matanya ke cangkir tehnya. “Sedikit,” kata Harry pada teh Cina yang mungkin-berkualitas-ultra-tinggi, bisa-jadi-teramat-sangat-mahal. “Aku jelas menjadi sedikit frustasi dengan тАж entah apa yang salah dalam kepala orang-orang.”
“Ya,” kata suara dingin itu. “Aku menemukannya membuat frustasi juga.”
“Apakah ada cara apa pun untuk membuat orang-orang supaya tidak melakukan hal semacam itu?” kata Harry pada cangkir tehnya.
“Memang benar ada suatu mantra khusus yang berguna memecahkan masalah macam itu.”
Harry melihat penuh harap ke arah pernyataan itu, dan melihat suatu senyuman dingin, dingin pada wajah Profesor Pertahanan.
Kemudian Harry mengerti. “Maksudku, selain Avada Kedavra.”
Sang Profesor Pertahanan tertawa. Harry tidak.
“Bagaimanapun juga,” kata Harry dengan cepat, “aku sudah berpikir cukup cepat untuk tak menyarankan suatu gagasan jelas tentang Batu Kebangkitan di depan Dumbledore. Pernahkan kamu melihat suatu batu dengan satu garis, di dalam sebuah lingkaran, di dalam satu segitiga?”
Kedinginan mematikan sepertinya melangkah mundur, melipat dirinya sendiri, saat si Profesor Quirrell biasa kembali. “Bukannya aku bisa mengingat,” kata Profesor Quirrell setelah beberapa saat, bukan suatu kerutan dahi merenung di wajahnya. “Itu adalah Batu Kebangkitan?
Harry menyingkirkan cangkir tehnya, kemudian menggambar pada piring cawannya simbol yang dia lihat di dalam jubahnya. Dan sebelum Harry bisa mengeluarkan tongkatnya sendiri untuk melemparkan Mantra Penerbang, piring cawan itu melayang dengan patuh melewati meja menuju Profesor Quirrell. Harry benar-benar ingin mempelajari hal-hal tanpa tongkat sihir itu, tapi itu, sepertinya, jauh di atas kurikulumnya saat ini.
Profesor Quirrell mempelajari piring cawan Harry untuk sesaat, kemudian menggelengkan kepalanya; dan sesaat kemudian, piring cawan itu melayang kembali kepada Harry.
Harry menempatkan cangkir tehnya kembali ke piring cawannya, memperhatikan sambil lalu saat dia melakukan itu bahwa simbol yang dia gambar sudah menghilang. “Jika kamu suatu saat melihat suatu batu dengan simbol itu,” kata Harry, “dan itu memang berbicara kepada alam baka, tolong beri tahu aku. Aku memiliki beberapa pertanyaan untuk Merlin atau siapapun yang ada di Atlantis.”
“Benar,” kata Profesor Quirrell. Kemudian si Profesor Pertahanan mengangkat cangkir tehnya lagi, dan memiringkannya seolah untuk menyelesaikan yang terakhir dari yang ada di sana. “Omong-omong, Tn. Potter, aku takut kita harus memotong pendek kunjungan hari ini ke Diagon Alley. Aku tahu kalau ini akan terjadiтАУtapi tak mengapa. Biarkan bertahan kalau memang ada sesuatu yang lain yang harus kulakukan sore ini.”
Harry mengangguk, dan menyelesaikan tehnya sendiri, kemudian bangkit dari kursinya di saat yang sama dengan Profesor Quirrell.
“Satu pertanyaan terakhir,” kata Harry, saat mantel Profesor Quirrell mengangkat dirinya sendiri dari gantungan mantel dan melayang menuju si Profesor Pertahanan. “Sihir itu longgar di dalam dunia, dan aku tak lagi mempercayai tebakanku sebanyak yang dulu kurasakan. Jadi dalam tebakan terbaikmu sendiri dan tanpa angan-angan apa pun, apakah kamu percaya kalau ada akhirat?”
“Kalau aku percaya, Tn. Potter,” kata Profesor Quirrell saat dia mengangkat bahu dalam mantelnya, “apakah aku masih di sini?”
Chapter 41: Pengabaian Frontal
Angin Januari yang menggigit meraung di sekeliling, dinding batu luas, kosong yang memisahkan material yang mengikat kastil Hogwarts, berbisik dan bersiul dalam nada-nada ganjil saat mereka berhembus melewati jendela-jendela tertutup dan menara-menara kecil. Salju-salju paling baru kebanyakan sudah tertiup, tapi sesekali sepetak es yang meleleh dan membeku ulang lengket kepada wajah batu dan menyala memantulkan sinar matahari. Dari kejauhan, pasti terlihat seolah Hogwarts mengedipkan ratusan mata.
Suatu hembusan seketika membuat Draco tersentak, dan mencoba, dengan mustahil, menekan tubuhnya lebih dekat lagi kepada batu, yang terasa seperti es dan berbau seperti es. Beberapa insting yang benar-benar tak ada gunanya meyakinkannya bahwa dia akan terhempas dari dinding luar Hogwarts, dan bahwa cara terbaik untuk mencegahnya adalah dengan bergerak menyentakkan diri dalam refleks tanpa daya dan mungkin dengan muntah.
Draco mencoba sangat keras tidak memikirkan tentang udara kosong setara enam lantai di bawahnya, dan fokus, sebagai gantinya, pada bagaimana dia akan membunuh Harry Potter.
“Kau tahu, Tn. Malfoy,” kata si gadis muda di sebelahnya dalam suara percakapan, “jika seorang seer memberitahuku bahwa suatu hari aku akan bergantung di sisi sebuah kastil pada ujung jariku, mencoba untuk tak melihat ke bawah atau memikirkan tentang seberapa keras Mum akan berteriak jika dia melihatku, aku tak akan punya sedikit pun ide bagaimana hal itu bisa terjadi, kecuali bahwa itu adalah salah Harry Potter.”
*
Lebih awaclass="underline"
Kedua Jenderal yang bersekutu melangkah bersama melewati tubuh Longbottom, sepatu bot mereka menghantam lantai nyaris dalam keserempakan sempurna.
Hanya satu tentara sekarang berdiri di antara mereka dan Harry, seorang bocah Slytherin bernama Samuel Clamons, yang tangannya terkepal putih di sekitar tongkat sihirnya, digenggam ke atas untuk menjaga Dinding Prismatiknya. Pernapasan si bocah datang dengan cepat, tapi wajahnya menunjukkan determinasi dingin yang sama yang menyala di mata jenderalnya, Harry Potter, yang sedang berdiri di belakang Dinding Prismatik di jalan buntu koridor di sebelah suatu jendela yang terbuka, dengan tangannya ditempatkan dengan misterius di belakang punggungnya.
Pertempurannya berlangsung luar biasa sukar, untuk musuh yang kalah jumlah dua-banding-satu. Itu harusnya mudah, Dragon Army dan Sunshine Regiment sudah melebur bersama dengan mudah dalam sesi latihan, mereka saling memerangi satu sama lain cukup lama untuk benar-benar saling mengenal satu sama lain dengan baik. Semangat mereka tinggi, kedua bala tentara mengetahui bahwa kali ini mereka bukan hanya bertarung untuk menang bagi diri mereka sendiri, tapi bertarung untuk suatu dunia yang bebas dari pengkhianat. Walaupun dengan protes terkejut dari kedua jenderal, para tentara dari pasukan gabungan bersikeras untuk memanggil diri mereka sendiri Dramione’s Sungon Argiment, dan membuat tambalan untuk lencana mereka dari sebuah wajah tersenyum yang diliputi api.